29-30 Desember 2024 Bromo Ditutup!!! Ada Perayaan Adat Suku Tengger


Upacara Kasada Suku Tengger, Bromo


Dalam rangka menghormati perayaan adat dan budaya masyarakat Tengger pada Wulan Kapitu, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) akan menutup akses kunjungan wisata dan kendaraan pada tanggal 29-30 Desember 2024.

seperti apa adat dan budaya masyarakat Tengger, berikut penjelasannya

Identitas Masyarakat Tengger

Suku Tengger menjadi salah satu kelompok etnis yang mewarnai keragaman masyarakat yang mendiami wilayah Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Suku Tengger adalah penduduk asli yang berasal dari daerah dataran tinggi di sekitar pegunungan Tengger, Bromo, dan Semeru yang terletak di Jawa Timur. Suku Tengger juga dikenal dengan berbagai sebutan seperti wong Brama, orang Bromo, atau wong Tengger. Masyarakat Tengger tidak hanya tinggal di lereng pegunungan, namun juga tersebar di beberapa daerah di sekitarnya seperti Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Malang.
Sejak zaman Majapahit dataran tinggi Tengger dikenal sebagai wilayah yang damai, tenteram, dan bahkan rakyatnya terbebas dari membayar pajak, Jenderal Thomas Stamford Raffles sangat mengagumi orang Tengger. Dalam The History of Java ia mengemukakan bahwa pada saat berkunjung ke tempat yang sejuk itu, ia melihat orang Tengger yang hidup dalam suasana damai, teratur, tertib, jujur, rajin bekerja, dan selalu gembira. Mereka tidak mengenal judi dan candu. Ketika Raffles bertanya tentang perzinahan, perselingkuhan, pencurian, atau jenis-jenis kejahatan lainnya, mereka yang biasa disebut sebagai orang gunung itu menjawab bahwa hal-hal tersebut tidak ditemui di Tengger

 Keturunan Penguasa Dari Majapahit

kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru memiliki data kepurbakalaan dan kesejarahan yang dapat mengungkap siapa dan bagaimana kehidupan orang Tengger. Prasasti batu yang pertama kali ditemukan, berangka tahun 851 Saka (929 M), menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit, yang terletak di kawasan pegunungan Tengger, adalah sebuah tempat suci yang dihuni oleh hulun hyang, yakni orang yang menghabiskan hidupnya sebagai abdi dewata. Prasasti kedua yang ditemukan, masih dalam abad yang sama, menyatakan bahwa di kawasan ini penduduknya melakukan peribadatan yang berkiblat kepada Gunung Bromo, dan menyembah dewa yang bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dalam agama Hindu dikenal sebagai Dewa Brahma,
Nama Walandhit disebut juga oleh Prapanca, seorang pujangga kenamaandari kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nagarakertagama. Walandhit adalah nama sebuah tempat suci yang sangat dihormati oleh kerajaan Majapahit. Di tempat ini bermukim kelompok masyarakat yang beragama Buddha dan Saiwa. Kemungkinan besar Walandhit pada waktu itu merupakan salah satu mandala yang dipimpin oleh seorang dewa guru. Dewa guru adalah seorang siddhapandita (pendeta yang sempurna ilmunya) yang memimpin sebuah mandala. Hubungan antara orang Walandhit dengan agama Hindu bukan hanya terlihat dari prasasti kuna yang telah ditemukan, tetapi juga dari naskah-naskah kuna yang ditulis pada zaman Majaphit. Dalam naskah Tantri Kamandaka, misalnya, segara wedhi atau laut pasir digambarkan sebagai jalan lintasan arwah manusia yang harus disucikan dulu sebelum naik ke kahyangan. Proses penyucian arwah tersebut juga digambarkan dalam mantera upacara entas-entas, sebuah upacara adat Tengger. Dalam upacara adat ini api penyucian dari Dewa Siwa dan Dewi Uma digunakan untuk menyucikan arwah manusia agar sang arwah dapat naik ke kahyangan, Adapun tentang sejak kapan komunitas yang tinggal di kawasan BromoTegger-Semeru tersebut disebut orang Tengger, belum ada keterangan yang jelas. Orang Tengger sendiri sekarang begitu yakin bahwa nama Tengger berasal dari paduan dua suku kata teakhir dari nama nenek moyang mereka, yaitu Rara Anteng (TENG) dan Jaka Seger (GER). Rara Anteng dipercaya sebagai putri Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit dan Jaka Seger, putra seorang brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger.

Tradisi Suku Tengger

Orang Tengger kaya akan upacara adat tetapi hampir tidak memiliki produk kesenian. Upacara adat yang sampai saat ini masih diselenggarakan di wilayah Tengger adalah sebagai berikut

Upacara Kasada

Perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan yang sekarang disebut Yadnya Kasada, adalah hari raya kurban orang Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16, bulan Kasada, yakni pada saat bulan purnama sedang menampakkan wajahnya di lazuardi biru. Hari raya kurban ini merupakan pelaksanaan pesan leluhur orang Tengger yang bernama Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan dirinya menjadi kurban demi kesejahteraan ayah, ibu, serta para saudaranya. Kasodoan merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu dilakukan melalui dukun Tengger, pewaris aktif tradisi Tengger.

Upacara Karo

Hari Raya Karo atau Yadnya Karo adalah perayaan kedua setelah Yadnya Kasada yang dilakukan pada kedua menurut kalender Suku Tengger. Perayaan Yadnya Karo diikuti tiga desa meliputi Desa Jetak, Wonotoro dan Ngadisari. Makna perayaan Yadnya Karo adalah sebagai perlambang asal mula kelahiran manusia yang diciptakan Sang Hyang Widiwasa melalui perkawinan dua orang jenis manusia yakni pria dan perempuan.

 Upacara Unan-Unan

Upacara ini diselenggarakan sekali dalam sewindu. Sewindu menurut kalender Tengger bukan 8 tahun melainkan 5 tahun. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan menyucikan para arwah yang belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal yangsempurna, yaitu Nirwana

Posting Komentar untuk "29-30 Desember 2024 Bromo Ditutup!!! Ada Perayaan Adat Suku Tengger"